teman,
saat ini saatku tak bersamamu
ku merasa aku rindu
salahkah aku?
tanpamu ku merasa hilang
aku kehilanganmu
aku ingin kau ada sekali lagi untukku
apakah mungkin kita akan bertemu lagi?
atau mungkin itulah akhirnya
amalia fadilah :)
Kamis, 13 Juni 2013
Minggu, 23 Desember 2012
Cerita haru di Hari Ibu - Selamat Hari Ibu,Papa !
Saya mengirimkan pesan singkat lewat layanan SMS begitu membuka mata pagi ini. Sampai saya menuliskan ini, lelaki yang usianya sudah mencapai kepala enam itu belum juga membalas. Ini hari sabtu, Papa pasti sedang bermain tenis.
Papa adalah sosok ibu yang saya kenal. Ia menjalankan peran ganda itu dengan tidak sempurna. Iya, tidak sempurna. Tetapi, buat saya dan saudara-saudara saya, itu sudah lebih dari cukup. Saya tak ingin lebih. Saya tak menuntut ia juga memaksakan diri.
Kami tak pernah peduli omongan orang. Mereka bilang kami tumbuh tak sempurna tanpa ibu. Papa bilang kami istimewa karena bisa melakukan semua yang terbaik tanpa harus terjebak dalam konsep ‘sempurna’ yang diamini sebagian besar orang. Bahwa keluarga harus ada ayah dan ibu. Semuanya bisa memainkan peran itu. Kami hanya menjalankan peran keluarga sebagaimana yang kami tahu tanpa mengenal kelamin. Papa saya adalah orang pertama yang mengajarkan kesetaraan gender itu kepada saya.
‘Ini bukan pekara kamu laki-laki atau perempuan. Ini tanggung jawab kita bersama sebagai satu keluarga,’ katanya.
Sabtu, 01 Desember 2012
plastic heaven quotes :)
Time will heal the heart, but only you can heal the love. You may find different person that give you different happiness, you may find imperfect person that loves you perfectly, you may find other good looking person that always look good on you. But must of all, you must dare to love again.
Rabu, 28 November 2012
Hidup itu Bebas
Aku seseorang yang bebas
#ku persembahkan untuk …..
Life Story
Karena kita manusia yang bebas.....
Karena kita
manusia yang bebas maka tak ada satu orang pun yang berhak atas kebebasan kita.
kita memiliki jalan kita masing masing tanpa harus ada yang selalu
menunjukkan kita sebuah jalan.
Bebas bukan berarti kita menganut paham “liberalisasi
pergaulan” tapi bebas memiliki makna yang luas. Bebas bukan hanya yang ada
seperti dalam pikiran seekor katak yang terkurung dalam tempurung kelapa yang
mengatakan “inilah dunia ku, tempurung kelapa tanpa harus melihat dunia yang
sesungguhnya”.
Bebas lebih dari itu, aku bebas dalam menentukan jalan ku
sendiri, aku bebas dalam memilih, aku bebas dan berkreativitas, aku bebas dalam
karir ku, aku bebas menentukan waktu ku sendiri, aku bebas mengenal siapa saja,
aku bebas bertukar pikiran dengan siapa saja, dan aku bebas dalam memilih jalan
ku kedepannya.
Tak seorang pun yang bisa dan berhak mengatur
“kebebasan” kita.
Aku mengatakan “aku ingin sendiri dulu,” lalu kau pun
menjawab “iya, silahkan tapi aku akan tetap berasa disamping mu”, lantas dimana
kebebasan waktu ku…???
Teringat akan sebuah pepatah “pasir yang digengam
semakin kuat, maka jumlah pasir yang jatuh lebih banyak dari yang dapat kita
tahan,” hal itu layaknya sebuah cinta, semakin kuat seseorang mengenggamnya
maka cinta itu akan semakin lepas dari gengaman tangan kita.
Memberikan kebebasan
pada seseorang yang kita cinta bukan berarti melepasakan cinta kita padanya,
melainkan kita menunjukkan, kau memiliki
kesempatan untuk memilih hidup mu dan dengan cara itu kau memiliki sebuah
ikatan yang kuat yang tak harus dibuktikan dengan perbuatan yang “mengekang”
dan dengan cara itu rasa kepercayaan antara satu sama lain dapat terjaga dengan
baik….
Life Story
Minggu, 21 Oktober 2012
Kehendak Allah
Kita berkenalan secara tak sengaja,adalah perancangan Allah..
Kita berkawan begitu lama bertahan pun Allah yang rancang..
Kita dikaruniakan rasa suka antara satu sama lain juga Allah yang beri..
Kita masih bersama walau banyak dugaan yang menimpa,Allah yang aturkan..
Kita dikaruniakan kesadaran dan keinsafan juga karena Allah sayang pada kita..
Kita berjauhan untuk mencapai ridhanya juga,Dia yang rancang..
Kita berdoa untuk kebahagiaan masing-masing juga Allah yang detikkan dalam hati kita..
dan ketahuilah, sama ada hubungan kita berkekalan sehingga ke syurga atau terputus di tengah jalan juga Allah yang akan tentukan..
Jadi, usah risau..
andai kamulah jodoh yang di tetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuz untukku
Insyaallah kita akan bersatu juga walau dipisahkan jarak dan masa.*
Kita berkawan begitu lama bertahan pun Allah yang rancang..
Kita dikaruniakan rasa suka antara satu sama lain juga Allah yang beri..
Kita masih bersama walau banyak dugaan yang menimpa,Allah yang aturkan..
Kita dikaruniakan kesadaran dan keinsafan juga karena Allah sayang pada kita..
Kita berjauhan untuk mencapai ridhanya juga,Dia yang rancang..
Kita berdoa untuk kebahagiaan masing-masing juga Allah yang detikkan dalam hati kita..
dan ketahuilah, sama ada hubungan kita berkekalan sehingga ke syurga atau terputus di tengah jalan juga Allah yang akan tentukan..
Jadi, usah risau..
andai kamulah jodoh yang di tetapkan Allah dalam Lauhul Mahfuz untukku
Insyaallah kita akan bersatu juga walau dipisahkan jarak dan masa.*
Sabtu, 13 Oktober 2012
nasehat kecil :)
Katanya KEHIDUPAN ini seperti deretan tuts piano
Kebahagiaan PUTIH Kesedihan HITAM,
Tetapi,di tangan TUHAN,Putih/Hitam telah di rancang menjadi Alunan Melodi yang INDAH
Biarlah tuhan bekerja dalam hidup kita karena dia yang lebih mengerti
Dia yang merancang masa depan kita
Jadi,selalu nikmati hari dengan percaya serta penuh suka cita
Caranya :
* Delete semua file kebencian
* Install antivirus egois
* Restart kehidupanmu dengan cinta
* Refresh Pribadimu
* Download kesabaran
* Upload tingkah laku yang benar
* Jangan mengundang pengalaman buruk
* Copy Paste semua pelajaran baik
* Loadingkan semua dengan doa
karena jaringannya selalu ONLINE :)
12-10-2012
22:19
Kebahagiaan PUTIH Kesedihan HITAM,
Tetapi,di tangan TUHAN,Putih/Hitam telah di rancang menjadi Alunan Melodi yang INDAH
Biarlah tuhan bekerja dalam hidup kita karena dia yang lebih mengerti
Dia yang merancang masa depan kita
Jadi,selalu nikmati hari dengan percaya serta penuh suka cita
Caranya :
* Delete semua file kebencian
* Install antivirus egois
* Restart kehidupanmu dengan cinta
* Refresh Pribadimu
* Download kesabaran
* Upload tingkah laku yang benar
* Jangan mengundang pengalaman buruk
* Copy Paste semua pelajaran baik
* Loadingkan semua dengan doa
karena jaringannya selalu ONLINE :)
12-10-2012
22:19
Senin, 08 Oktober 2012
Aku Terpaksa Menikahinya
Aku membenci suamiku, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku. Meski
menikahinya, aku tak benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah
karena paksaan orangtualah penyebab semua itu. Walaupun terpaksa, aku
tak pernah menunjukkan sikap benciku. Aku terpaksa melakukannya karena
aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan
meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan
siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut
mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya
mereka.
Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya
gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur,
dan shalat bersama dengan makhluk yang kubenci, tapi bibit cintaku
belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang
teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak mulai
kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku merasa hidupku ada lah
sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.
Karena itu
kulakukan segala hal sesuka hatiku. Aku menjadi istri yang teramat
manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku
sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai
seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku anggap hal itu
sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah
menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia
dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah
ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja
masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang
basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan
sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket.
Aku benci kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku dan aku marah
kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang
bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku tak ingin
punya anak. Meski tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya
dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia
menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya.
Aku benar-benar marah padanya. Kemarahan
semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus
mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua
keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak
kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang
tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling
akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti
biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke
sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang
tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan
kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku
memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa
terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti
anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak
menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia
kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat
untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke
salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Di salon aku bertemu
salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol
dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku
harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku
hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang,
kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka
kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak
salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan
lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup
telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku
kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang,
aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada
dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali
menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir bahwa suamiku akan datang
membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi
rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet
membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku
melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu
menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali
kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku
diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum
lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam
beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,
“selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak Armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang
dibawa ke rumah sakit. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab
terima kasih. Aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat
handphone yang entah masih menyala atau tidak. Seorang pegawai salon
mendekatiku bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih
kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit.
Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan
ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini
dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah
menunggu beberapa jam, seorang dokter keluar dan menyampaikan berita
itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri,
serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar
kenyataan itu, kedua orangtuaku dan orangtuanya shock. Sama sekali tak
ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan
ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat
tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku
termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar
menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa
yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali
pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum
hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap
berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis
tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti,
airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam
mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang
telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku
teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir
tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang
kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi
terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku
sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak
pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak
disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie
instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia
mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak
untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak
perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan
masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari
karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau
jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman,
aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya
hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun
sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa
sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia
karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan
dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah
kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak
di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku
duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku
makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk
saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah
ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap
ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak
bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan
menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan
berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali.
Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di
laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap
tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu
aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja,
sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf,
meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahkan
padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada
suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku
sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu
banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang
selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung
mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah
kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung
merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah
peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke
rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang
itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku
memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya
aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke
rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan
untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya
sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau
anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di
mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya
selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak
sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan
suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia
menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu
berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena
harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah
memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak
adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya
aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau
kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah
menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak
ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan
tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat
hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu
untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini.
Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang
lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu
dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak
yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan
disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu,
ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa
selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari
hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari
hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil
meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa
menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir
tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku.
Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan
mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun
meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi
putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami
bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya
Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku
merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah
pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan
segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan
belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun
persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada
ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi
menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas
darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya
yang begitu tulus.
From : Mochammad Aldi
Langganan:
Postingan (Atom)