Minggu, 23 Desember 2012

Cerita haru di Hari Ibu - Selamat Hari Ibu,Papa !

‘SELAMAT Hari Ibu, Papa. Terima kasih untuk semuanya.’

Saya mengirimkan pesan singkat lewat layanan SMS begitu membuka mata pagi ini. Sampai saya menuliskan ini, lelaki yang usianya sudah mencapai kepala enam itu belum juga membalas. Ini hari sabtu, Papa pasti sedang bermain tenis.

Papa adalah sosok ibu yang saya kenal. Ia menjalankan peran ganda itu dengan tidak sempurna. Iya, tidak sempurna. Tetapi, buat saya dan saudara-saudara saya, itu sudah lebih dari cukup. Saya tak ingin lebih. Saya tak menuntut ia juga memaksakan diri.

Kami tak pernah peduli omongan orang. Mereka bilang kami tumbuh tak sempurna tanpa ibu. Papa bilang kami istimewa karena bisa melakukan semua yang terbaik tanpa harus terjebak dalam konsep ‘sempurna’ yang diamini sebagian besar orang. Bahwa keluarga harus ada ayah dan ibu. Semuanya bisa memainkan peran itu. Kami hanya menjalankan peran keluarga sebagaimana yang kami tahu tanpa mengenal kelamin. Papa saya adalah orang pertama yang mengajarkan kesetaraan gender itu kepada saya.
‘Ini bukan pekara kamu laki-laki atau perempuan. Ini tanggung jawab kita bersama sebagai satu keluarga,’ katanya.

Jadilah Papa bisa menjelma sebagai ibu, kakak saya juga bisa menjadi ibu, saya juga bisa menjadi ibu, adik lelaki saya pun bisa menjadi ibu. Begitu juga sebaliknya, kami semua bisa menjadi papa, kakak, adik, dan teman untuk satu sama lain.

Itulah mengapa kami masih bisa bertengkar lalu kembali duduk bersama sambil menangis dan berpelukan.
Papa saya bekerja. Ia berpindah-pindah. Kami semua hidup sendiri-sendiri.  Namun, saya tak pernah merasa saya tumbuh dengan tidak baik sebagaimana yang dikhawatirkan oleh orang-orang karena tak ada orang dewasa yang mengawal dan mengajari ini dan itu.

Papa bilang, pada akhirnya manusia harus menghadapi hidupnya sendiri. Jadi, bertanggung jawablah atas hidupmu.
***

PAPA saya orang yang tangguh sekaligus rapuh. Selalu tepat waktu, menghormati janji dan komitmen, tetapi kerap plinplan ketika itu menyangkut perasaan orang lain. Dia sulit menolak. dan gampang merasa tak enakan.

Tapi, dia justru mengajari saya untuk tegas. Tak boleh plinplan.
Dua kali saya melihatnya menangis deras tanpa suara. Pertama ketika dia meminta maaf kepada ibunya (nenek saya), kedua ketika mama saya meninggal di hadapannya tanpa sempat membuka mata sejak kecelakaan naas itu. Ia seminggu lebih berdiam diri di kamar. Menangis. Sendirian.

Papa saya orang yang mengajarkan konsep tanggung jawab kepada saya. Ia tak pernah melarang saya melakukan apa pun asalkan saya paham semua konsekuensinya dan bertanggung jawab penuh atas tindakan saya. Dia bilang, ‘Kepercayaan itu mahal.’ Setiap kali saya memberi tahunya apa yang akan saya lakukan, ia selalu mengiyakan. ‘Asal kamu sudah tahu konsekuensinya,’ selalu itu yang dikatakannya di akhir percakapan.

Papa saya orang yang pertama kali mengajari saya traveling. Kalau bukan karena dia percaya sepenuhnya kepada saya, maka saya tak mungkin diizinkannya traveling sendirian dari Blitar ke Palembang dengan menumpangi bus ekonomi—Tasima, namanya—sewaktu saya duduk di kelas 6 SD.  Itu solo traveling saya yang pertama.

Perjalanan dari Blitar, Jawa Timur ke Palembang, Sumatra Selatan dengan menaiki bus ekonomi (tanpa AC dan WC , serta manusia yang dijejalkan melebihi kapasitas bus) memakan waktu dua hari dua malam.
Waktu saya memberi tahunya bahwa saya ingin ke Palembang, ia membelikan saya tiket dan mengantarkan saya sampai ke pol bus Tasima. Ia menitipkan saya kepada sopir bus. Mendudukkan saya di kursi di belakang sopir dan memberi saya uang secukupnya untuk bekal di perjalanan dan sebulan berlibur di Palembang.

Sopir bus tak percaya bahwa saya dibiarkan pergi sendirian oleh papa saya. ‘Bapak ndak khawatir sama putrinya?’ tanya Si Sopir waktu itu. Papa saya menggeleng. Dia bilang, ‘Anak saya yang ini, dilepas di hutan juga pasti bisa menemukan jalan pulang.’

Kami bukan keluarga tak berduit. Tapi, Papa tak pernah mengajarkan saya menghambur-hamburkan uang. Dia bisa membelikan saya tiket bus kelas eksekutif atau menaikkan saya pesawat, tetapi tidak dilakukannya. Dulu saya pikir Papa pelit. Ternyata bukan seperti itu.

Dia bilang, itu cara dia untuk mengajari saya menghargai apa pun yang saya dapatkan dari siapa pun. Saya boleh manja hanya kepada diri sendiri.
Waktu kecil, saya pernah diajak Papa naik kapal laut dari Jakarta ke Manado. Saat itu waktu tempuhnya selama tujuh hari. Setiap harinya, kapal merapat di pelabuhan besar di tiap kota. Transit beberapa jam. Waktu transit ini yang dimanfaatkan Papa untuk mengajak kami anak-anaknya jalan-jalan keliling kota. Kalau pagi hari (sebelum kapal merapat), pukul 8, Papa akan mengajak kami ke geladak kapal. Pada pukul segitu, ikan terbang bermunculan. Seperti burung memenuhi langit. Itu pertama kalinya saya tahu, ada ikan bisa terbang. Lalu, pukul 4 sore beberapa jam setelah kapal berlayar lagi, Papa akan mengajak kami ke buritan menonton lumba-lumba berlompatan di putih buih yang mengular akibat kapal yang melintas. Papa bilang, ‘Kalau naik pesawat, kamu tidak bisa lihat ini semua.’

Kami juga sering traveling dengan mobil. Setiap kali akan ke Jakarta untuk berlibur, Papa mengajak kami membawa mobil sendiri. Tugas saya mencatat semua hal yang terjadi di perjalanan. Mulai dari berhenti di mana saja, mengisi bensin di kota mana, berapa banyak dan berapa biayanya, serta stop di mana saja dana berapa lama. Kalau capek dan mau istirahat, saya juga harus mencatat nama tempatnya, makan apa, berapa uang yang dikeluarkan. Kakak saya bertugas sebagai bendahara dan seksi konsumsi. Adik saya ya macam-macam, mulai baca peta sampai bertanya jalan ke orang.

Waktu itu kami belum ada yang bisa menyetir. Papa selalu menyewa sopir. Ketika sopir mengantuk, Papa yang akan menggantikan menyetir. Lalu Papa bilang, kami semua harus bisa menyetir mobil agar tak perlu merepotkan orang lain kalau ingin ke mana-mana. Dan bisa bergantian menyetir kalau ingin ke mana-mana.
Benar saja, semua anak papa bisa mengendarai sepeda kayuh, sepeda motor, dan mobil. Saya bahkan bisa mengendarai motor cowok yang besar dan vespa. Dia bilang, lain waktu saya belajar menyetir truk atau bus saja. Sayang, sampai sekarang saya belum pernah menyetir keduanya.
 
Solo traveling saya ke luar negeri untuk yang pertama kali terjadi tahun 2003. Saya ke USA. Uang saya pinjam dari Papa sebanyak USD 3000. Iya, saya pinjam uang dari dia. Pulang dari USA, uang dia saya ganti dari hasil kerja sambilan selama di USA.
Saya ingat, saya menelepon dia malam-malam. Papa saya saat itu ditempatkan di Kendari, sementara saya kuliah di Malang. ‘Saya mau ke Amerika.’ Saya mengabarkannya. Bagaimanapun saya butuh uang untuk ke USA.

‘Buat apa?’

‘Belajar. Saya mau belajar hidup di luar negeri. Saya ikut program dan lulus. Tapi transportasi dan biaya hidup selama di sana, ditanggung sendiri. saya butuh uang untuk beli tiket PP dan juga biaya hidup di sana.’

‘Kamu punya uang berapa?’ tanyanya.

‘Satu setengah juta di tabungan.’

‘Emang cukup duit segitu buat ke sana?’

‘Nggak. Aku mau pinjam uang dari Papa. Nanti Aku ganti.’

‘Caranya?’

‘Aku akan cari kerja di sana.’
Tak ada suara. Saya hanya mendengar degup jantung sendiri karena khawatir akan mendapatkan jawaban tidak dari Papa.

‘Berapa lama di sana?’

‘Enam bulan atau setahun. Entah.’

‘Kuliah di Malang gimana?’

‘Nggak ada masalah. Kan aku tinggal bikin skripsi.’ Papa tidak tahu kalau saya mengajukan cuti kuliah selama setahun demi ikut program itu.

‘Berapa banyak uangnya?’

Saya menyebutkan angka yang saya butuhkan. Besoknya, uang itu sudah ada di rekening saya sehingga saya bisa segera mengurus keberangkatan saya.

Saya pergi ke USA dengan uang pinjaman. Ketika berangkat ke USA, saya hanya mengantongi uang sebanyak USD500 di tas ransel. Uang itu modal hidup saya sampai menemukan pekerjaan di sana.

Pulang dari USA, hal pertama yang saya lakukan membayar utang saya. Papa kaget. ‘Loh, benaran statusnya minjam uang?’

‘Aku kan bilang pinjam. Pinjam ya pinjam. Kan aku janji sama Papa akan ganti pas pulang.’
Selama di USA, saya bekerja di hotel sebagai house keeper dan pelayan di Burger King. Hasil kerja sambilan saya pakai buat biaya hidup, traveling, sedikit bersenang-senang, dan membayar utang kepada
Papa.

Saya bangga. Saya traveling sendirian ke USA dengan uang sendiri kendati modal awalnya didapatkan dengan berutang kepada Papa.

***
PAPA orang yang membuat saya tak takut berbuat salah karena dia mengajari saya berani mengaku salah.

Setiap kali saya melakukan sesuatu, dia selalu bertanya, ‘Apa yang sudah kamu lakukan? Apakah kamu tahu yang kamu lakukan salah?’

Rasanya memang menjengkelkan waktu itu. Tapi kalau sekarang boleh mengingat, saya jadi paham, berani mengaku salah memang bukan perkara mudah. Dan dia mengajari hal itu kepada saya sedari kecil. Jadinya, saya tak pernah takut melakukan apa pun dan berpikir panjang sebelum bertindak. Sebab, segala konsekuensinya harus saya pikul sendiri.

Ketika duduk di bangku SMA, saya belum memiliki SIM C. Tapi saya sudah bisa mengendarai motor. Papa saya belum mau membelikan saya motor. Ke mana-mana, saya naik sepeda kayuh. Satu hari, saya pinjam sepeda motor teman saya dan belajar melompati palang kayu dengan sepeda motor itu.

Gagal.

Bukannya berhasil membuat motor melompati palang kayu, seperti para pembalap yang saya lihat di televisi, saya justru nyusruk ke bawah palang. Motor rusak parah dan betis kiri saya sobek (bekasnya masih ada sampai sekarang).

Saya pulang ke rumah dengan menangis. Papa duduk di sofa, menyuruh saya berhenti menangis dan menjelaskan duduk perkaranya. Begitu tahu letak masalahnya, ia malah meminta saat itu juga saya pergi menghadap orang tua teman yang motornya rusak akibat perbuatan saya.

‘Berhenti menangis. Sekarang juga kamu pergi ke rumah Riri. Minta maaf sama orang tuanya, jelaskan kamu yang salah dan akan mengganti semua kerusakan.’

Saya pikir, Papa akan mengantarkan saya. Tidak. Saya harus ke sana sendiri. Saya pikir, Papa akan memberi uang untuk mengganti kerusakan. Tidak. Saya harus ke bengkel, memperbaikinya, dan mengganti semuanya dengan uang saya sendiri. Ia memang memberikan uang untuk membayar biaya perbaikan, tetapi sampai beberapa bulan ke depan, saya tidak menerima uang jajan.

Kata Papa, ‘Yang suruh kamu naik motor siapa? Yang pengin sok keren mau bikin motor bila melompat siapa?’

Saya bertanggung jawab penuh atas tindakan saya.

***

PAPA juga yang membawa saya ke penjara anak-anak dan mengajari saya untuk mencintai.
Hari itu saya bermain ke kantor Papa di Surabaya setelah dari Jawa Pos, mengambil data untuk skripsi.  Papa dan saya janji ke Malang bersama-sama. Ternyata, perjalana kami kali ini ‘diikuti’ mobil tahanan. Ada seorang anak yang hari itu resmi akan masuk penjara anak di Blitar.

‘Kasus apa, Pa?’ tanya saya penasaran sambil berkali-kali melirik mobil yang mengekor di belakang mobil kami.

‘Membunuh.’

Saya diam. Pertama kali masuk penjara anak itu beberapa tahun lalu ketika Papa bertugas di Blitar. Saya punya teman di penjara itu. Sebut saja Sam, seorang anak asal Ambon yang masuk penjara karena membunuh juga. Dan sekarang, ada lagi seorang anak dari salah satu pasar di Surabaya yang akan diantar lagi ke Blitar karena membunuh.

‘Membunuh siapa?’

‘Rentenir di pasar yang memukuli neneknya karena tak bisa bayar utang.’

Papa lalu menceritakan kasus anak berusia belasan tahun yang saya lihat tadi di ruangannya dan sekarang berada di mobil belakang kami.

Di Pasuruan kami berhenti sebentar untuk makan. Papa menghampiri mobil tahanan itu. Mengajak semuanya makan, termasuk anak itu.

‘Kamu ajak dia ngomong ya. Kasihan dari tadi nangis terus.’

Anak itu turun dari  mobil dengan wajah tertunduk. Matanya sembab, ia tak berhenti menangis. ‘Lepas borgolnya,’ ujar Papa ke petugas. Belakangan saya tahu, tindakan itu tidak dibenarkan, tetapi Papa bilang, ia yakin anak itu tidak akan lari. Hukum bukan soal hitam-putih. Ada nilai kemanusiaan yang melekat pada pelaksananya, kata Papa.

Sayang, saya lupa nama anak itu. Tapi, seperti yang Papa minta, saya menempel kepadanya. Bertanya dia mau makan dan minum apa. Ia terus menggeleng dan menangis. Saya akhirnya memesankan dia es shanghai dan ikan bakar.

Anak itu tak mau makan. Saya juga tahu mau bagaimana lagi membujuknya. Akhirnya Papa berkata, ‘Penjara bukan tempat yang menyenangkan. Sebaiknya kamu makan selagi kamu masih bisa menikmati apa yang ada sekarang.’

Anak itu geming.

‘Kamu nggak lapar?’ tanya Papa.

‘Lapar, Pak.’

‘Terus kenapa nggak mau makan?’

Kembali dia menangis. Dengan tersedu-sedu, dia bilang bagaimana ia bisa memakan itu semua sementara ia tidak tahu neneknya makan apa dan siapa yang akan mengurusnya selama dia ada di penjara.
Saya pun berhenti makan. Serasa ada yang menyumbat tenggorok saya.

Anak itu akhirnya makan dan meminum esnya sambil menangis setelah Papa berjanji akan memastikan soal neneknya. Saya berharap, Papa memang memenuhi janjinya hari itu.
Di mobil, ketika kami melanjutkan perjalanan menuju Malang, Saya masih ingat kalimat Papa sebelum akhirnya kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, ‘Mencintai manusia lain itu tak mengenal soal salah atau benar.’

***

DULU, saya pernah mendengar dengan kuping sendiri, bagaimana orang-orang meragukan apakah kami bisa tumbuh menjadi anak-anak yang ‘benar’ tanpa seorang ibu.

‘Kasihan ya anak-anak itu. Tak punya Ibu. Bapaknya juga tidak setiap saat bersama mereka.’
Saya belajar menulikan telinga. Saya tak merasa perlu dikasihani.

Saya punya Papa yang baik. Tak sempurna, memang. Namun, apa yang selama ini dia lakukan lebih dari cukup.

Buat saya, Papa adalah seorang ibu yang luar biasa.
Selamat Hari Ibu, Papa! Papa, ibu terhebat saya.

Ah, saya tahu, dia tidak membaca tulisan saya yang ini. Omong-omong, dia juga bahkan tidak tahu apa pekerjaan saya, selain ‘tukang bikin buku’. Begitu jawabannya setiap kali ada yang bertanya soal pekerjaan saya. [13]

Reblog From :
http://windy-ariestanty.tumblr.com/post/38533279347/selamat-hari-ibu-papa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar